Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Al-Ghazali: Pembebas dari Kesesatan (Al-Munqid Minad Dhalal) PDF

 



Sebelum kita menelisik lebih jauh isi kitab alMunqidz min al-Dhalal, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu epistemologi al-Ghazali. Ini penting, sebab epistemologi ibarat pintu masuk untuk mengetahui paradigma berpikir menyusuri epistemologi seseorang, kita akan lebih mudah membaca alur pikir atau sistematika pemikiran orang dari awal sampai akhir.

Epistemologi berasal episteme logos.

"teori pengetahuan" atau "pengetahuan tentang pengetahuan". Epistemologi melahirkan beragam metode dan pendekatan. Yang paling masyhur adalah empirisme dan rasionalisme. Selain kedua pendekatan itu, dalam viii filsafat Islam ditambahkan lagi dengan pendekatan intuitif . Yang terakhir inilah yang digunakan oleh al-Ghazali.

Seperti yang dituturkan sendiri oleh alGhazali, awalnya ia mendasarkan pengetahuannya pada empirisme . Ia sebetulnya ragu dengan metode ini: apakah dengan bersandarkan pada empirisme ia akan memperoleh keyakinan? Dari sini al-Ghazali mulai melakukan pengujian.

Pertama-tama ia menguji validitas data-data indrawai . Semisal, data yang diterima mata. Mata kita seringkali melihat bintang-bintang di atas langit. Menurut penglihatan kita, bintang-bintang itu terlihat kecil, sekecil uang logam. Tetapi, berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintangbintang itu jauh lebih besar dibanding bumi.

Ternyata, pada faktanya, data-data yang diterima oleh indera sering kali menipu, bertolak belakang dengan fakta sesungguhnya, sebagaimana pada contoh di atas. Dari sini al-Ghazali berpindah pada pendekatan rasionalisme. Menurut penganut rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah  dapat dipercaya adalah pengetahuan yang dihasilkan akal .

Contohnya, bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan 3. Ada dan tiada tidak mungkin bertemu dalam satu waktu, begitu juga qadim dan hadits tidak mungkin dilekatkan pada sesuatu dalam waktu bersamaan, dan seterusnya. Ini adalah contoh-contoh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Bukankan pengetahuan rasional lebih diterima daripada pengetahuan empiris?

Empirisme dan rasionalisme selamanya akan berperang dan saling menyalahkan. Keduanya tidak dapat bertemu dan dipertemukan. Nah, pada saat terjadi kebuntuan antara pilihan rasional dan empirikal, al-Ghazali justeru berpaling dari keduanya dan menaruh kepercayaan pada pengetahuan intuitif x.

Menurut pengetahuan intuitif seseorang akan sampai kepada "kebenaran sejati". Untuk meyakinkan bahwa pengetahuan intuitif benar-benar ada al-Ghazali mengilustrasikan dengan pengalaman mimpi. Ketika kita bermimpi, kata alGhazali, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan diluar kenyataan indrawi.

Namun, begitu kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam sadar. pengalaman-pengalaman bawah sadar /ketidaksadaran itu tidak berkorespondensi maupun pengalaman indrawi. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah. Ini juga sebetulnya sering dialami oleh kita, baik sadar sekalipun.

Berangkat dari pendekatan intuitif inilah alGhazali membangun segenap pemikirannya. Sehingga, tak pelak lagi, al-Ghazali membombardir teologi, penganut aliran Batiniyyah, kesemuanya bersendikan rasionalisme atau empirisme. Nah, di dalam kitabnya ini al-Ghazali mengkritik habis-habisan Teologi, Madzhab Ta’limy , dan Filsafat.

Teologi Al-Ghazali

Al-Ghazali sebetulnya tertarik dengan disiplin ilmu ini. Bahkan ia sendiri sempat menulis buku tentang Teologi. Namun, sebagaimana pengakuan alGhazali sendiri, bahwa ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari Teologi, kecuali manfaat itu kembali pada teologi itu sendiri.

Sebab, perkembangan selanjutnya, disiplin ilmu Teologi sudah tidak lagi terfokus pada xii wilayah kajiannya; pembahasannya terlalu melebar kemana-mana; dan mulai melenceng dari tujuan.

Padahal, kata al-Ghazali, tujuan ilmu Teologi adalah menjaga dan membentengi akidah ahlussunah wal jama’ah dari pengaruh ahli bid’ah .

Sebab, Allah SWT melalui lisan rasul sudah menyampaikan demi kemaslahatan dunia maupun akhirat . Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh kehadiran ahli bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali akidah yang sudah tercemar itu, mengembalikan pada asalnya.

Tetapi, yang terjadi justeru tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan. Wacana yang dikembangkan dalam teologi malah bertitik-tolak dari dasar pikiran/asumsi/hipotesis lawan.

Disamping itu, para Teolog lebih banyak berapologi menanggapi tuduhan-tuduhan lawan, ketimbang membicarakan esensi Teologi itu sendiri. Pada akhirnya para Teolog tidak lagi membela sunnah, malah tenggelam pada pembahasan tentang dzat/substansi , sifat/aksiden , dan sebagainya.

Hal menyebabkan teologi melenceng jauh dari tujuan mulianya . Dengan sangat kecewa al-Ghazali akhirnya tidak begitu suka dengan ilmu ini. "falam yakun al-kalam fi haqqy kaafiyan. Wala lidaai alladzi kuntu asykuuhu syafiyan" , kata al-Ghazali.

Filasafat

Al-Ghazali belajar dan mendalami filsafat kurang lebih selama dua tahun. Ia banyak membaca kitab-kitab filsafat yang dikarang filsuf muslim pada waktu itu. Dari hasil bacaannya itu, al-Ghazali menyimpulkan ada tiga madzhab besar dalam filsafat: al-dahriyyun, thabiiyyun, dan ilahiyyun.

Pertama, al-dahriyyun . Ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses alam. Manusia tercipta dari sperma, begitu juga sebaliknya. Proses xiv alam akan terus berjalan sesuai dengan hukumnya.

Dan terus berjalan tanpa mengenal akhir. Kedua, thabiiyyun. Aliran filsafat yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi; fenomena alam berikut makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya lebih banyak dicurahkan untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini masih percaya terhadap adanya Tuhan.

Mereka berpendapat bahwa kekuatan yang dimiliki manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan sesuatu yang lain yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme jiwa dan badan. Jiwa tidak lain dari materi itu sendiri. sehingga, ketika seseorang mati, maka jiwanya juga ikut mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia adikodrati, seperti surga, neraka, kiamat, hisab, dll.

Dan ketiga, ilahiyyun . Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah sederetaan filsuf yang masuk dalam kelompok ini. Plato adalah Murid Socrates, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Aristoteles dikenal sebagai pencetus ilmu mantiq, banyak memberikan ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap pelbagai disiplin ilmu.

Aristoteles mengkritik madzhab-madzhab filsafat sebelumnya, seperti dahriyyun dan thabiyyun. Secara garis besar, kajian filsafat meliputi: matematika , logika , ilmu alam , metafisika , politik, dan etika .

Pada prinsipnya, al-Ghazali tidak begitu antipati terhadap filsafat. Sebab, menurutnya, filsafat sama sekali tidak memiliki relasi dengan agama. AlGhazali termasuk pendukung sekularisasi ilmu.

Hanya saja, sedikit paham/ajaran filsafat yang dapat menimbulkan efek membahayakan bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran agama.

dahriyyun mengingkari adanya Tuhan dan thabiiyyun yang tidak mempercayai keberadaan "dunia lain". Begitu juga ajaran ilahiyyun yang di transfer dari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan xvi nikmat siksaan. mendapatkan balasan di akherat kelak hanyalah ruh.

Mereka juga mengatakan bahwa alam bersifat qadim dan abadi. Madzhab al-ta’limiy masa hidup, ta’limiyyah atau aliran batiniyyah sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Ta’limiyyah adalah salah satu aliran/sekte syiah ismailiyyah. Aliran ini berpendapat bahwa "setiap orang butuh pengajaran dan bimbingan mu’allim yang ma’shum, suci; terlindungi dari dosa" ".

Menurut sekte ini, keberadaan mu’allim ma’shum mutlak diperlukan. Sebab, tanpa melalui kehadiran mereka, seseorang tidak mungkin akan sampai pada "kebenaran". Muallim ma’shum yang dimaksudkan mereka adalah para imam Ajaran seperti ini mendapat kritik keras dari alGhazali.

Muhammad SAW. Setiap orang bebas melakukan ijtihad dalam mengambil keputusan hukum , tidak harus menunggu wangsit dari imam ma’shum, tegas al-Ghazali. Kita bisa belajar dari Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman. Mu’adz melakukan ijtihad sendiri ketika menemukan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ditemukan di dalam nash .

Setelah al-Ghazali merasa kecewa dengan ilmu-ilmu di atas, kemudian beliau berpaling pada tasawuf . Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghazali belajar dan membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada waktu itu.

 

Judul Buku

Al-Ghazali: Pembebas dari Kesesatan (Al-Munqid Minad Dhalal)

Penulis

Imam Al-Ghazali (Penerjemah; Bahrudin Achmad)

Jumlah Halaman

185

Tahun

2020

Penerbit

Al-Muqsith Pustaka

Bahasa

Indonesia

Bidang studi

Tasawuf, filsafat

Ukuran file

2,56 Mb

Link Download

 Download

 


Post a Comment for "Al-Ghazali: Pembebas dari Kesesatan (Al-Munqid Minad Dhalal) PDF"